Sejarah Taoisme
Taoisme juga dikenal dengan Daoisme, diprakarsai oleh Laozi. sejak
akhir Zaman Chunqiu yang hidup pada 604-517 sM atau abad ke-6 sebelum
Masehi. Taoisme merupakan ajaran Laozi yang berdasarkan Daode Jing. Pengikut Laozi
yang terkenal adalah Zhuangzi yang merupakan tokoh penulis kitab yang berjudul Zhuangzi.
Taoisme
merupakan aliran falsafah penting di Cina sesudah Konfusianisme. Bentuk
ajarannya yang awal dinisbahkan kepada Lao Tze dan Yang Chu. Tetapi sebagai
faham falsafah, Taoisme baru dikenal pada abad ke-1 SM. Yang pertama kali
menyebut sistem ini sebagai madzab falsafah ialah Ssu-ma Ch`ien dalam bukunya
Shih Chi (Rekaman Sejarah). Sudah tentu sebelum abad ke-1 SM Taoisme telah
berkembang dan dasar-dasar pokok ajarannya telah dirumuskan oleh para
pendirinya.
Sebagai
sistem falsafah, Taoisme sering dianggap sebagai falsafah mistik, bahkan
sebagai salah satu bentuk mistisisme tertua di dunia yang berpengaruh hingga
abad ke-20. Ia berbeda dari Konfusianisme yang menekankan pada persoalan
manusia sebagai anggot sosial, kehidupannya dalam etika dan politik. Taoisme
menaruh perhatian besar terhadap persoalan metafisika dan persatuan mistikal
antara manusia dengan alam. Sebagai ajaran falsafah, Taoisme dirumuskan secara
mantap oleh Chuang Tze, penafsir Tao Te Ching, kitab falsafah berbentuk puisi
yang dinisbahkan kepada Lao Tze sebagai pengarangnya.
Sebagai ajaran falsafah, Taoisme dimulai dengan
skeptisisme. Skeptisisme ini timbul dari kekecewaan terhadap keadaan masyarakat
dan situasi politik di Cina pada abad ke-5 M. Pada masa itu banyak sekali
peperangan dan pembrontakan. Korupsi dan penyelewengan merajalela. Raja-raja,
bangsawan dan panglima-panglima perang hidup penuh kemegahan dan kemewahaan di
atas kesengsaraan rakyat.
Menurut para penganut Taoisme, peradaban hedonistis dan
materialistis telah merusak kehidupan manusia. Untuk memulihkan peradaban yang
sedang sakit manuia perlu kembali kepada alam dan menyatu dengan alam.
Pernyataan kekecewaan itu tampak dalam sindiran Chuang Tze:
“Bekerja membanting tulang seumur hidup tanpa pernah melihat hasilnya, dan
bersusah payah bekerja keras tanpa mengetahui apa yang akan dihasilkan –
bukankah yang demikian itu sangat menyedihkan? (Legge 1927: I.390.)
Tampaknya Taoisme merupakan sistem falsafah yang
mengajarkan pesimisme. Namun hal ini disangkal oleh banyak ahli sejarah
falsafah Cina. Justru menurut mereka adalah sebaliknya, Taoisme malah
mengajarkan optimisme.
Pandangan Tentang Manusia
Menurut
pandangan Taoisme, hidup manusia sudah digariskan oleh ‘langit’.[6] Manusia
sudah memiliki jalannya masing-masing. Yang harus dilakukan manusia hanya
meneliti jalan itu dan mengikuti jejak itu tanpa coba memaksakan pandangannya
yang sempit, serta tanpa kehendak ingin menyelewangkan diri dari yang alamiah
demi keuntungan pribadi. Sikap
semacam itulah yang disebut dengan Wu Wei, yang artinya tidak mencampuri. Wu-wei dapat juga diartikan ‘tidak
berkeinginan’. Manusia dalam
pandangan Taoisme, harus menghilangkan keinginannya, dan mengikuti jalannya
proses alam tanpa mencampuri proses itu.[6]
Menurut
Taoisme, apabila manusia menjadi sombong dan melakukan hal di luar kemampuannya,
maka suatu saat dia akan mendapat celaan yang dapat membuatnya berduka atau
menderita. Karena itu, seorang
bijaksana yang mengenal Dao dan hukum alam akan memilih mengundurkan diri dan
menolak segala penghargaan yang diberikan padanya. Ia memilih untuk tidak
menonjolkan dirinya. Meskipun
demikian, Taoisme tidak mengajarkan bahwa seseorang harus menyingkirkan seluruh
harta benda yang dimiliki untuk mencapai ketentraman batin. Hal yang perlu dibuang adalah rasa
kemelekatan terhadap harta tersebut. Apabila harta dibuang namun masih ada
kemelekatan terhadapa harta tersebut, maka sia-sia saja. Karena itu buanglah kemelekatan
terhadap harta dari diri manusia, dan harta benda harus digunakan untuk
kepentingan sosial. Dengan
demikian manusia tidak akan merasakan penderitaan akibat kehilangan harta.
Seperti tertulis dalam Daode Ching Bab 2 ayat 11b: “…Oleh karena tidak
mempunyai apa-apa, maka dia tidak pernah kehilangan apa-apa.”
Manusia
yang mengikuti Dao tidak mencampuri hidup orang lain, dalam arti ia tidak
memaksakan orang lain membutuhkan, ia menolong mereka menjadi bebas dengan
mengikuti Dao. Manusia yang baik adalah yang mampu
mengikuti jalannya alam semesta sesuai dengan Dao.
Jika
manusia telah berhasil mengikuti jalan Dao, maka ia tidak perlu takut akan
kematian. Kematian adalah sebuah
proses alam dan manusia tidak dapat melawan alam, oleh karena itu manusia tidak
perlu taku atau cemas terhadap kematian. Kematian hanya mengembalikan manusia
kepada Dao.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar