Sabtu, 27 Juni 2015

Hakikat Manusia Menurut Taoisme

Sejarah Taoisme

Taoisme juga dikenal dengan Daoisme, diprakarsai oleh Laozi. sejak akhir Zaman Chunqiu yang hidup pada 604-517 sM atau abad ke-6 sebelum Masehi. Taoisme merupakan ajaran Laozi yang berdasarkan Daode Jing. Pengikut Laozi yang terkenal adalah Zhuangzi yang merupakan tokoh penulis kitab yang berjudul Zhuangzi.
Taoisme merupakan aliran falsafah penting di Cina sesudah Konfusianisme. Bentuk ajarannya yang awal dinisbahkan kepada Lao Tze dan Yang Chu. Tetapi sebagai faham falsafah, Taoisme baru dikenal pada abad ke-1 SM. Yang pertama kali menyebut sistem ini sebagai madzab falsafah ialah Ssu-ma Ch`ien dalam bukunya Shih Chi (Rekaman Sejarah). Sudah tentu sebelum abad ke-1 SM Taoisme telah berkembang dan dasar-dasar pokok ajarannya telah dirumuskan oleh para pendirinya.
Sebagai sistem falsafah, Taoisme sering dianggap sebagai falsafah mistik, bahkan sebagai salah satu bentuk mistisisme tertua di dunia yang berpengaruh hingga abad ke-20. Ia berbeda dari Konfusianisme yang menekankan pada persoalan manusia sebagai anggot sosial, kehidupannya dalam etika dan politik. Taoisme menaruh perhatian besar terhadap persoalan metafisika dan persatuan mistikal antara manusia dengan alam. Sebagai ajaran falsafah, Taoisme dirumuskan secara mantap oleh Chuang Tze, penafsir Tao Te Ching, kitab falsafah berbentuk puisi yang dinisbahkan kepada Lao Tze sebagai pengarangnya.
Sebagai ajaran falsafah, Taoisme dimulai dengan skeptisisme. Skeptisisme ini timbul dari kekecewaan terhadap keadaan masyarakat dan situasi politik di Cina pada abad ke-5 M. Pada masa itu banyak sekali peperangan dan pembrontakan. Korupsi dan penyelewengan merajalela. Raja-raja, bangsawan dan panglima-panglima perang hidup penuh kemegahan dan kemewahaan di atas kesengsaraan rakyat.
Menurut para penganut Taoisme, peradaban hedonistis dan materialistis telah merusak kehidupan manusia. Untuk memulihkan peradaban yang sedang sakit manuia perlu kembali kepada alam dan menyatu dengan alam.
Pernyataan kekecewaan itu tampak dalam sindiran Chuang Tze: “Bekerja membanting tulang seumur hidup tanpa pernah melihat hasilnya, dan bersusah payah bekerja keras tanpa mengetahui apa yang akan dihasilkan – bukankah yang demikian itu sangat menyedihkan? (Legge 1927: I.390.)
Tampaknya Taoisme merupakan sistem falsafah yang mengajarkan pesimisme. Namun hal ini disangkal oleh banyak ahli sejarah falsafah Cina. Justru menurut mereka adalah sebaliknya, Taoisme malah mengajarkan optimisme.
Pandangan Tentang Manusia
Menurut pandangan Taoisme, hidup manusia sudah digariskan oleh ‘langit’.[6] Manusia sudah memiliki jalannya masing-masing. Yang harus dilakukan manusia hanya meneliti jalan itu dan mengikuti jejak itu tanpa coba memaksakan pandangannya yang sempit, serta tanpa kehendak ingin menyelewangkan diri dari yang alamiah demi keuntungan pribadi. Sikap semacam itulah yang disebut dengan Wu Wei, yang artinya tidak mencampuri. Wu-wei dapat juga diartikan ‘tidak berkeinginan’. Manusia dalam pandangan Taoisme, harus menghilangkan keinginannya, dan mengikuti jalannya proses alam tanpa mencampuri proses itu.[6]
Menurut Taoisme, apabila manusia menjadi sombong dan melakukan hal di luar kemampuannya, maka suatu saat dia akan mendapat celaan yang dapat membuatnya berduka atau menderita. Karena itu, seorang bijaksana yang mengenal Dao dan hukum alam akan memilih mengundurkan diri dan menolak segala penghargaan yang diberikan padanya. Ia memilih untuk tidak menonjolkan dirinya. Meskipun demikian, Taoisme tidak mengajarkan bahwa seseorang harus menyingkirkan seluruh harta benda yang dimiliki untuk mencapai ketentraman batin. Hal yang perlu dibuang adalah rasa kemelekatan terhadap harta tersebut. Apabila harta dibuang namun masih ada kemelekatan terhadapa harta tersebut, maka sia-sia saja. Karena itu buanglah kemelekatan terhadap harta dari diri manusia, dan harta benda harus digunakan untuk kepentingan sosial. Dengan demikian manusia tidak akan merasakan penderitaan akibat kehilangan harta. Seperti tertulis dalam Daode Ching Bab 2 ayat 11b: “…Oleh karena tidak mempunyai apa-apa, maka dia tidak pernah kehilangan apa-apa.”
Manusia yang mengikuti Dao tidak mencampuri hidup orang lain, dalam arti ia tidak memaksakan orang lain membutuhkan, ia menolong mereka menjadi bebas dengan mengikuti Dao. Manusia yang baik adalah yang mampu mengikuti jalannya alam semesta sesuai dengan Dao.
Jika manusia telah berhasil mengikuti jalan Dao, maka ia tidak perlu takut akan kematian. Kematian adalah sebuah proses alam dan manusia tidak dapat melawan alam, oleh karena itu manusia tidak perlu taku atau cemas terhadap kematian. Kematian hanya mengembalikan manusia kepada Dao.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar