Sabtu, 27 Juni 2015

Hakikat Manusia Menurut Taoisme

Sejarah Taoisme

Taoisme juga dikenal dengan Daoisme, diprakarsai oleh Laozi. sejak akhir Zaman Chunqiu yang hidup pada 604-517 sM atau abad ke-6 sebelum Masehi. Taoisme merupakan ajaran Laozi yang berdasarkan Daode Jing. Pengikut Laozi yang terkenal adalah Zhuangzi yang merupakan tokoh penulis kitab yang berjudul Zhuangzi.
Taoisme merupakan aliran falsafah penting di Cina sesudah Konfusianisme. Bentuk ajarannya yang awal dinisbahkan kepada Lao Tze dan Yang Chu. Tetapi sebagai faham falsafah, Taoisme baru dikenal pada abad ke-1 SM. Yang pertama kali menyebut sistem ini sebagai madzab falsafah ialah Ssu-ma Ch`ien dalam bukunya Shih Chi (Rekaman Sejarah). Sudah tentu sebelum abad ke-1 SM Taoisme telah berkembang dan dasar-dasar pokok ajarannya telah dirumuskan oleh para pendirinya.
Sebagai sistem falsafah, Taoisme sering dianggap sebagai falsafah mistik, bahkan sebagai salah satu bentuk mistisisme tertua di dunia yang berpengaruh hingga abad ke-20. Ia berbeda dari Konfusianisme yang menekankan pada persoalan manusia sebagai anggot sosial, kehidupannya dalam etika dan politik. Taoisme menaruh perhatian besar terhadap persoalan metafisika dan persatuan mistikal antara manusia dengan alam. Sebagai ajaran falsafah, Taoisme dirumuskan secara mantap oleh Chuang Tze, penafsir Tao Te Ching, kitab falsafah berbentuk puisi yang dinisbahkan kepada Lao Tze sebagai pengarangnya.
Sebagai ajaran falsafah, Taoisme dimulai dengan skeptisisme. Skeptisisme ini timbul dari kekecewaan terhadap keadaan masyarakat dan situasi politik di Cina pada abad ke-5 M. Pada masa itu banyak sekali peperangan dan pembrontakan. Korupsi dan penyelewengan merajalela. Raja-raja, bangsawan dan panglima-panglima perang hidup penuh kemegahan dan kemewahaan di atas kesengsaraan rakyat.
Menurut para penganut Taoisme, peradaban hedonistis dan materialistis telah merusak kehidupan manusia. Untuk memulihkan peradaban yang sedang sakit manuia perlu kembali kepada alam dan menyatu dengan alam.
Pernyataan kekecewaan itu tampak dalam sindiran Chuang Tze: “Bekerja membanting tulang seumur hidup tanpa pernah melihat hasilnya, dan bersusah payah bekerja keras tanpa mengetahui apa yang akan dihasilkan – bukankah yang demikian itu sangat menyedihkan? (Legge 1927: I.390.)
Tampaknya Taoisme merupakan sistem falsafah yang mengajarkan pesimisme. Namun hal ini disangkal oleh banyak ahli sejarah falsafah Cina. Justru menurut mereka adalah sebaliknya, Taoisme malah mengajarkan optimisme.
Pandangan Tentang Manusia
Menurut pandangan Taoisme, hidup manusia sudah digariskan oleh ‘langit’.[6] Manusia sudah memiliki jalannya masing-masing. Yang harus dilakukan manusia hanya meneliti jalan itu dan mengikuti jejak itu tanpa coba memaksakan pandangannya yang sempit, serta tanpa kehendak ingin menyelewangkan diri dari yang alamiah demi keuntungan pribadi. Sikap semacam itulah yang disebut dengan Wu Wei, yang artinya tidak mencampuri. Wu-wei dapat juga diartikan ‘tidak berkeinginan’. Manusia dalam pandangan Taoisme, harus menghilangkan keinginannya, dan mengikuti jalannya proses alam tanpa mencampuri proses itu.[6]
Menurut Taoisme, apabila manusia menjadi sombong dan melakukan hal di luar kemampuannya, maka suatu saat dia akan mendapat celaan yang dapat membuatnya berduka atau menderita. Karena itu, seorang bijaksana yang mengenal Dao dan hukum alam akan memilih mengundurkan diri dan menolak segala penghargaan yang diberikan padanya. Ia memilih untuk tidak menonjolkan dirinya. Meskipun demikian, Taoisme tidak mengajarkan bahwa seseorang harus menyingkirkan seluruh harta benda yang dimiliki untuk mencapai ketentraman batin. Hal yang perlu dibuang adalah rasa kemelekatan terhadap harta tersebut. Apabila harta dibuang namun masih ada kemelekatan terhadapa harta tersebut, maka sia-sia saja. Karena itu buanglah kemelekatan terhadap harta dari diri manusia, dan harta benda harus digunakan untuk kepentingan sosial. Dengan demikian manusia tidak akan merasakan penderitaan akibat kehilangan harta. Seperti tertulis dalam Daode Ching Bab 2 ayat 11b: “…Oleh karena tidak mempunyai apa-apa, maka dia tidak pernah kehilangan apa-apa.”
Manusia yang mengikuti Dao tidak mencampuri hidup orang lain, dalam arti ia tidak memaksakan orang lain membutuhkan, ia menolong mereka menjadi bebas dengan mengikuti Dao. Manusia yang baik adalah yang mampu mengikuti jalannya alam semesta sesuai dengan Dao.
Jika manusia telah berhasil mengikuti jalan Dao, maka ia tidak perlu takut akan kematian. Kematian adalah sebuah proses alam dan manusia tidak dapat melawan alam, oleh karena itu manusia tidak perlu taku atau cemas terhadap kematian. Kematian hanya mengembalikan manusia kepada Dao.



Sabtu, 20 Juni 2015

Manusia dan Kebebasan

Sartre merupakan seorang filsuf yang mengembangkan pandangan seorang ahli yang bernama Kierkegard yaitu pandangan tentang pentingnya arti manusia sebagai pribadi. Intisari yang dikembangkan oleh Sartre dalam nama Eksistensialisme tersebut dengan cepat mendapat sambutan hampir diseluruh dunia. Sekalipun pada dasarnya buah fikiranya merupakan pengembangan dari pemikiran Kierkegard, ia mengembangkanya sampai tahap yang amat jauh.
Menurut pemikiran Sartre tentang Eksistensi manusia bukan sekedar hendak menjelaskan keadaan keberadanya manusia ditengah manusia dan bukan manusia, lebih dari itu ia hendak menjelaskan tanggung jawab yang seharusnya dipikul oleh manusia. Munculnya masalah ini tidaklah mengherankan bila kita membayangkan keadaan dunia ketika itu, khususnya Eropa Barat tempat Sartre hidup.
 
BIOGRAFI TOKOH

JEAN-PAUL SARTRE (1905-1980) lahir di Paris pada tanggal 21 Juni 1905. Ayahnya adalah perwira angkatan laut Prancis dan ibunya, Anne Maria Schweitzer, anak bungsu dan satu-satunya anak perempuan dari Charles Schweitzer, seorang guru bahasa dan sastra Jerman di daerah Alsace. Ayahnya meninggal dua tahun sesudah kelahiran Jean-paul Sartre dan ibu bersama anaknya pulang ke rumah ayahnya, Charles Schweitzer, di Meudon. Sesudah empat tahun, mereka pindah ke Paris.
Sampai berumur sepuluh tahun empat bulan, Jean-Paul diberi pengajaran dirumah. Selama itu ia hidup ditengah orang-orang dewasa, tanpa adik, teman sebaya. Dunianya adalah perpustakaan dan kakeknya. Ia diterima di Lycee Henry IV di Paris, tetapi tahun berikut ibunya menikah lagi dan mereka pindah ke La Rochelle. Sesudah beberapa tahun dia disekolahkan lagi di Paris, yaitu Lycee Louis-le-Grand. Pada tahun 1924 ia sempat masuk di Ecole normale superieure, yang sudah terkenal sebagai salah satu perguruan tinggi yang paling selektif dan paling terkemuka di Prancis. Untuk ujian Agregation ia satu kali jatuh, tetapi tahun berikutnya, tahun 1929 ia berhasil meraih Agregation de philosophie sebagai nomor satu.
Sejak tahun 1931 Sartre mengajar sebagai guru filsafat di beberapa lycees, berturut-turut di Le Havre, Laon, dan Paris. Pada waktu itu ia mulai berkenalan dengan fenomonologi Husserl dan tahun 1933-1934 ia mendapat kesempatan untuk mempelajari lebih mendalam aliran filsafat ini pada “lembaga Prancis” di Berlin. Sekembalinya di Le Havre ia menulis artikel panjang berjudul La transcendence de l’ego (1936) sebagai sekedar hasil studinya di Berlin. Berikutnya ia menulis buk-buku kecil berjudul L’Imagination (1936)(Imajinasi), Esquisse d’une theorie des emotions (1939) (Garis-Garis Besar Suatu Teori tentang Emosi-Emosi) dan L’imaginaire (1940) (Yang Imajiner). Dalam periode yang sama Sartre memulai karirnya sebagai sastrawan. Salah satu karya sastra yang penting adalah novelnya yang pertama yang berjudul La Nausee (1938) (Rasa Muak).
Setelah studinya selesai Sartre sudah menempuh wajib militer (1929-1931). Ketika Perang Dunia II pecah, ia dipanggillagi masuk ketentaraan. Karena tugasnya pada dinas meteorologi, ia mempunyai banyak waktu luang untuk membaca dan menulis. Dari juni 1940-april 1941 ia ditahan di Jerman sebagai tahanan perang. Waktu Perang Dunia II terbitlah karya filsafat besar berjudul L’etre et le neant. Essai d’ontologi phenomenologique (1943) (Ada dan Ketiadaan. Percobaan Suatu Ontologi Fenomena Logis). Dengan buku ini Sartre menjadi filsuf ternama dan segera dianggap sebagai salah seorang pemimpin gerakan filosofis yang disebut Eksistensialisme.
Pada waktu itu Sartre sudah berhenti menjadi seorang guru, sebab ia dapat hidup dari penghasilanya sebagai pengarang. Ia juga dapat mewujudkan cita-cita lama denagn mendirikan majalah baru, Les Temps modernes (1945) (Zaman-zaman Modern). Majalah berhaluan kiri ini berusaha memberi tanggapan tentang semua  kejadian dan perkembangan penting di bidang kultural dan politik. Sebagai sastrawan Sartre juga banyak menerbitkan sandiwara.
Ditinjau dari sei filsafat, 1960 merupakan tahun yang pentimg dalam karir Sartre. Dalam tahun ini diterbitkan karya filosofis besar dengan judul Critique de la raison dialectique (Kritik atas Rasio Dialetis). Pada tahun 1964 Sartre dipilih sebagai pemenang Hadiah Nobel bagian Kesusastraan, tetapi ia menolaknya. Dalam politik dalam Negeri Prancis dan politik internasional yang penuh pergolakan itu, Sartre tidak segan melibatkan diri, setidak-tidaknya sesudah Perang Dunia II. Pendirianya selalu berhaluan kiri dan penuh simpati dengan partaipartai kiri, namun perlu ditekankan bahwa ia tidak pernah menjadi anggota partai komunis.
Pada tahun 1966 ia mengambil bagian dalam International Tribunal againts war crimes in Vietnam  yang telah didirikan oleh filsuf inggris tersohor, Lord Bertrand Russell. Ketika “revolusi mahasiswa” pecah di Paris pada bulan Mei 1968, Sartre mengikuti peristiwa-peristiwa yang berlangsung dengan perhatian besar dan turut mengecam tindakan-tindakan polisi Prancis yang dinilai terlalu kejam. Pada tanggal 20 Mei 1968 ia datang ke Universitas Sorbonne yang diduduki oleh mahasiswa, guna menyatakan dukunganya dan menghimbau orang muda disana untuk menghancurkan universitas dalam bentuknya yang lama. Beberapa tahun kemudian (1973) ia mengambil inisiatif untuk menrbitkan surat kabar baru. Bersama dengan suatu staf yang terdiri dari orang-orang berhaluan kiri, ia mulai menerbitkan harian yang akan memperjuangkan kaum buruh. Banyak artikel yang ditulis Sartre tentang politik, kesusastraan, dan pokok-pokok yang lain, telah dikumpulkan dalam seri buku yang berjudul Situations (Situasi-Situasi). Selruh seri meliputi sepuluh jilid (1947-1975).
Ketika ia mencapai umur 70 tahun (1975), kejadian itu diperingati oleh banyak majalah dan media lainya. Suatu wawancara panjang dengan Sartre disajikan oleh majalah Le nouvel observateur. Ia mengakui bahwa sejak 2 tahun ia mengidap berbagai penyakit yang tak memungkinkan baginya untuk menulis lagi. Ia meninggal 5 tahun kemudian setelah perayaan ulang tahunya yang ke-70, yaitu pada tanggal 15 april 1980, setelah sebulan dirawat di rumah sakit.
 
PEMIKIRAN TOKOH

Sartre adalah seorang filosof ateis. Hal itu dinyatakannya secara terang-terangan. Konsekuensi pandangan ateis itu ialah tuhan tidak ada, atau sekurang-kurangnya manusia bukanlah ciptaan Tuhan. Oleh karena itu, konsepnya tentang manusia ialah manusia bukan ciptaan Tuhan. Bagi Sartre, eksistensi manusia mendahului esensinya. Pandangan ini amat janggal sebab biasanya sesuatu harus ada esensinya lebih dulu sebelum keberadaanya.
Filsafat eksistensialisme membicarakan cara berada di dunia ini, terutama cara berada manusia. Dengan perkataan lain, filsafat ini menempatkan cara wujud-wujud manusia sebagai tema sentral pembahasanya. Cara itu hanya khusus ada pada manusia karena hanya manusialah yang bereksistensi. Binatang, tetumbuhan, bebatuan memang ada, tetapi merea tidak dapat bereksistensi (Drijarkara, 1966:57). Filsafat eksistensialisme mendamparkanya ke dunianya dan menghadapkan manusia pada dirinya sendiri (Hassan:9).
Menurut ajaran eksistensialisme, eksistensi manusia mendahului esensinya. Hal ini berbeda dengan tetumbuhan, hewan dan bebatuan yang eksensinya mendahului eksistensinya, seandainya mereka mempunyai eksistensi. Di dalam filsafat idealisme, wujud nyata (existence) dianggap mengikuti hakikat (essence)-nya. Jadi hakikat manusia mempunyai ciri khas tertentu, dan ciri itu yang membuat manusia berbeda dari makhluk lain (Hanafi, 1981:90). Manusia harus menciptakan eksistensinya sendiri (Beerling:215). Oleh karena itu, dikatakan bahwa manusia itu eksistensinya mendahului esensinya (Struhl & Struhl, 1972:33,35).
Bila kita berfikir bahwa Tuhan adalah pencipta manusia, maka kita akan membayangkan bahwa Tuhan mengetahui secara persis apa yang akan diciptakan-Nya. Jadi konsep sesuatu yang akan disiptakan oleh Tuhan telah ada sebelum segala sesuatu itu diciptakan. Jika demikian, maka bagi manusiapun berlaku formula esensi mendahului eksistensi. Ini bila Tuhan yang menciptakan manusia. Ide seperti ini ada pada agama, juga ada pada Diderot, Voltaire, Kant, dan lain-lain. Bahkan pada Plato, konsep (idea pada plato) sudah ada di alam idea. Sedangkan Sartre menyatakan bahwa itu semua berlawanan dengan kenyataan.
Eksistensialisme yang ateis, yang saya adalah salah seorang tokohnya, menyatakan bahwa Tuhan tidak ada, maka tinggal satu yang ada yang eksistensinya mendahului esensinya, suatu ada yang adanya sebelum ia dapat dikenal dengan suatu konsep tentang dirinya. Itu adalah manusia, yang oleh Heidegger disebut realitas manusia. Apa yang kita maksud eksistensi mendahului esensi pada manusia? Kita maksudkan bahwa manusia adalah yang pertama dari semua yang ada, menghadapi dirinya, menghadapi dunia, dan mengenal dirinya sesudah itu. Bila manusia seorang eksistensialis melihat dirinya sebagai yang tidak dikenal, itu karena ia mulai dari ketiadaan. Dia tetap tidak akan ada, sampai suatu ketika ia akan ada seperti yang diperbuatnya kepada dirinya. Oleh karena itu, tidaklah ada kekhususan kemanusiaan karena tidak ada Tuhan yang mempunyai konsep tentang manusia (Struhl Den Struhl:37).
Formula ini dianggap penting oleh Sartre karena bila eksistensi manusia mendahului esensinya, berarti manusia harus bertanggung jawab untuk apa ia ada. Sartre menjelaskan, karena manusia mula-mula sadar bahwa ia ada, itu berarti manusia menyadari bahwa ia menghadapi masa depan dan ia sadar ia berbuat begitu. Hal ini menekankan suatu tanggung jawab pada manusia. Inilah yang dianggap sebagai ajaran yang pertama dan utama dari filsafat eksistensialisme. Bila manusia itu bertanggung jawab atas dirinya sendiri, itu bukan berarti ia hanya bertanggung jawab atas dirinya sendiri, tetapi juga pada seluruh manusia. Dengan tegas sartre menyatakanya.
Dari hal itu sudah tampak bahwa pendapat Sartre tentang Eksistensi manusia bukan sekedar hendak menjelaskan keadaan keberadanya manusia ditengah manusia dan bukan manusia, lebih dari itu ia hendak menjelaskan tanggung jawab yang seharusnya dipikul oleh manusia. Munculnya masalah ini tidaklah mengherankan bila kita membayangkan keadaan dunia ketika itu, khususnya Eropa Barat tempat Sartre hidup.
Eksistensi manusia menunjukkan kesadaran manusia, terutama pada dirinya sendiri bahwa ia berhadapan dengan dunia. Dari konsep ini muncullah ciri lain hakikat lain tentang keberadaan manusia. Orang eksistensialisme berpendapat bahwa salah satu watak keberadaan manusia ialah takut (Bierman dan Gauld, 1973:602). Takut itu datang dari kesadaran  manusia tentang wujudnya di dunia ini. Sartre menyatakan, bila manusia menyadari dirinya berhadapan dengan sesuatu, menyadari bahwa ia telah memilih untuk berada, pada waktu itu juga ia telah bertanggung jawab untuk memutuskan bagi dirinya dan bagi keseluruhan manusia, dan pada saat itu pula manusia merasa tidak dapat melepaskan diri dari tanggung jawab menyeluruh (Struhl dan Struhl:38).
Manusia itu merdeka, bebas. Oleh karena itu, ia harus bebas menentukan, memutuskan. Dalam menentukan, memutuskan, ia bertindak sendirian tanpa orang lain menolong atau bersamanya. Ia harus menentukan untuk dirinya dan untuk seluruh manusia. Oleh karena itu, menurut Sartre, demikian juga heidegger (Beerling;223-24), manusia tidak solider tetapi soliter. Ia memikul berat dunia seorang diri. Kenyataan manusia, sebagaimana dinyatakan oleh Sartre, adalah nasibnya diserahkan kepada dirinya sendiri dengan tiada bantuan sedikitpun (Beerling:232). Sartre mengatakan bahwa dalam memutuskan itu orang berdiri sendiri. Ini karena ia ateis. Bila teis, maka manusia akan tahu bahwa dalam memutuskan ia tidak sendirian, ajaran Tuhan bersamanya dalam memutuskan. Rasa takut itu muncul karena ada kesadaran dalam diri manusia. Rasa seperti ini  tidak ada dalam tumbuhan, hewan maupun bebatuan. Bagi Sartre, karena manusia itu pengada yang sadar, persoalanya menjadi rumit. Pertama ia sadar, dari sini muncul tanggung jawab, manusia akan menentukan. Dari sini muncul kesendirian, lalu rasa takut muncul. Kemudian Sartre menambahkan lagi: dari kesadaran itu muncul penyangkalan. Manusia itu selalu menyangkal.
Sadar berarti sadar akan sesuatu, yaitu sadar akan sesuatu yang terletak diluar kesadaran itu. Ini berarti ia berhubungan dengan sesuatu yang ada diluar dirinya, sesuatu yang bukan dirinya. Sampai disini belum ada kejanggalan. Akan tetapi, Sartre  kemudian menambahkan: sadar tentang sesuatu berarti menyangkal sesuatu (Drijarkara:80). Untuk ini Sartre menggunakan istilah neantiser. Dengan kesadaran itu manusia menyadari bahwa ia tidak berdiri sendiri. Dalam kenyataanya manusia itu termuat dalam kompleks perbuatan. Tentang berbuat itu manusia sadar ia berbuat. Itu berarti manusia menyadari bahwa ia selalu dalam peralihan. Disinilah terletak kerumitan manusia itu; demikian Sartre. Manusia itu, setelah menyadari dirinya, ia membantahnya, menyangkalnya. Ia membantah itu dengan mengalih, menuju kepada yang lain. Manusia selalu dalam keadaan menuju yang lain. Setelah yang lain itu tercapai, pada waktu itu pula ia menyangkalnya. Jadi, manusia itu selalu berubah, selalu meluncur, selalu menuju kepada. Hakikat penyangkalan itu dapat dirumuskan dalam kalimat ini: yang ada tidak dimaui, yang dimaui belum ada. Jadi, manusia itu laksana orang yang mengejar bayanganya. Menurut Sartre, itulah hakikat manusia.
Disini tergambarlah suatu filsafat putus asa. Untuk apa mengejar sesuatu padahal sudah diketahui bahwa jika sesuatu itu dicapai, ia  akan mengingkarinya.? Jadi, semua usaha telah diketahui akan berakhir sia-sia, tapi manusia harus berbuat. Menurut Sartre, itulah hukuman bagi manusia, manusia harus demikian. Ia dihukum oleh kesadaranya. Ia harus meluncur terus sampai ia terengah-engah kepayahan. Untuk membebaskan diri dari hukuman itu hanya ada dua kemungkinan: menjadi yang tak berkesadaran ( en-soi,hewan, tetumbuhan, batu) atau bunuh diri. Menjadi en-soi tidak mungkin, yang mungkin adalah bunuh diri.
Pikiran ini suatu mata rantai dalam rangkaian pemikiran Sartre tentang hakikat wujud manusia. Sangat erat dengan formula “yang ada tidak dimaui dan yang dimaui ialah yang belum ada”. Tindakan atau bertindak adalah bagian sentral dalam filsafat Sartre. Manusia itu menjalani eksistensinya dalam perbuatan. Perbuatan itu tindakan. Syarat utama dapat bertindak ialah adanya suatu kemerdekaan. Oleh karena itu, tidaklah aneh bila Sartre menghantam setiap bentuk detirminisme. Sartre mengatakan bahwa ke-apa-an manusia bergantung pada kemauanya yang berasal dari kemerdekaanya (Drijarkara;84). Selanjutnya Sartre menjelaskan bahwa kemerdekaan itu harus diartikan merdeka dalam keterbatasanya artinya ia merdeka dalam kondisinya. Sebagian buku Sartre  berisi uraian yang tajam dan sinis tentang hubungan antar manusia: relasi antara kesadaran yang satu dengan kesadaran yang lain. Apa yang terjadi antara manusia dengan manusia.

Manusia dan Kebebasan

Sartre merupakan seorang filsuf yang mengembangkan pandangan seorang ahli yang bernama Kierkegard yaitu pandangan tentang pentingnya arti manusia sebagai pribadi. Intisari yang dikembangkan oleh Sartre dalam nama Eksistensialisme tersebut dengan cepat mendapat sambutan hampir diseluruh dunia. Sekalipun pada dasarnya buah fikiranya merupakan pengembangan dari pemikiran Kierkegard, ia mengembangkanya sampai tahap yang amat jauh.
Menurut pemikiran Sartre tentang Eksistensi manusia bukan sekedar hendak menjelaskan keadaan keberadanya manusia ditengah manusia dan bukan manusia, lebih dari itu ia hendak menjelaskan tanggung jawab yang seharusnya dipikul oleh manusia. Munculnya masalah ini tidaklah mengherankan bila kita membayangkan keadaan dunia ketika itu, khususnya Eropa Barat tempat Sartre hidup.
 
BIOGRAFI TOKOH

JEAN-PAUL SARTRE (1905-1980) lahir di Paris pada tanggal 21 Juni 1905. Ayahnya adalah perwira angkatan laut Prancis dan ibunya, Anne Maria Schweitzer, anak bungsu dan satu-satunya anak perempuan dari Charles Schweitzer, seorang guru bahasa dan sastra Jerman di daerah Alsace. Ayahnya meninggal dua tahun sesudah kelahiran Jean-paul Sartre dan ibu bersama anaknya pulang ke rumah ayahnya, Charles Schweitzer, di Meudon. Sesudah empat tahun, mereka pindah ke Paris.
Sampai berumur sepuluh tahun empat bulan, Jean-Paul diberi pengajaran dirumah. Selama itu ia hidup ditengah orang-orang dewasa, tanpa adik, teman sebaya. Dunianya adalah perpustakaan dan kakeknya. Ia diterima di Lycee Henry IV di Paris, tetapi tahun berikut ibunya menikah lagi dan mereka pindah ke La Rochelle. Sesudah beberapa tahun dia disekolahkan lagi di Paris, yaitu Lycee Louis-le-Grand. Pada tahun 1924 ia sempat masuk di Ecole normale superieure, yang sudah terkenal sebagai salah satu perguruan tinggi yang paling selektif dan paling terkemuka di Prancis. Untuk ujian Agregation ia satu kali jatuh, tetapi tahun berikutnya, tahun 1929 ia berhasil meraih Agregation de philosophie sebagai nomor satu.
Sejak tahun 1931 Sartre mengajar sebagai guru filsafat di beberapa lycees, berturut-turut di Le Havre, Laon, dan Paris. Pada waktu itu ia mulai berkenalan dengan fenomonologi Husserl dan tahun 1933-1934 ia mendapat kesempatan untuk mempelajari lebih mendalam aliran filsafat ini pada “lembaga Prancis” di Berlin. Sekembalinya di Le Havre ia menulis artikel panjang berjudul La transcendence de l’ego (1936) sebagai sekedar hasil studinya di Berlin. Berikutnya ia menulis buk-buku kecil berjudul L’Imagination (1936)(Imajinasi), Esquisse d’une theorie des emotions (1939) (Garis-Garis Besar Suatu Teori tentang Emosi-Emosi) dan L’imaginaire (1940) (Yang Imajiner). Dalam periode yang sama Sartre memulai karirnya sebagai sastrawan. Salah satu karya sastra yang penting adalah novelnya yang pertama yang berjudul La Nausee (1938) (Rasa Muak).
Setelah studinya selesai Sartre sudah menempuh wajib militer (1929-1931). Ketika Perang Dunia II pecah, ia dipanggillagi masuk ketentaraan. Karena tugasnya pada dinas meteorologi, ia mempunyai banyak waktu luang untuk membaca dan menulis. Dari juni 1940-april 1941 ia ditahan di Jerman sebagai tahanan perang. Waktu Perang Dunia II terbitlah karya filsafat besar berjudul L’etre et le neant. Essai d’ontologi phenomenologique (1943) (Ada dan Ketiadaan. Percobaan Suatu Ontologi Fenomena Logis). Dengan buku ini Sartre menjadi filsuf ternama dan segera dianggap sebagai salah seorang pemimpin gerakan filosofis yang disebut Eksistensialisme.
Pada waktu itu Sartre sudah berhenti menjadi seorang guru, sebab ia dapat hidup dari penghasilanya sebagai pengarang. Ia juga dapat mewujudkan cita-cita lama denagn mendirikan majalah baru, Les Temps modernes (1945) (Zaman-zaman Modern). Majalah berhaluan kiri ini berusaha memberi tanggapan tentang semua  kejadian dan perkembangan penting di bidang kultural dan politik. Sebagai sastrawan Sartre juga banyak menerbitkan sandiwara.
Ditinjau dari sei filsafat, 1960 merupakan tahun yang pentimg dalam karir Sartre. Dalam tahun ini diterbitkan karya filosofis besar dengan judul Critique de la raison dialectique (Kritik atas Rasio Dialetis). Pada tahun 1964 Sartre dipilih sebagai pemenang Hadiah Nobel bagian Kesusastraan, tetapi ia menolaknya. Dalam politik dalam Negeri Prancis dan politik internasional yang penuh pergolakan itu, Sartre tidak segan melibatkan diri, setidak-tidaknya sesudah Perang Dunia II. Pendirianya selalu berhaluan kiri dan penuh simpati dengan partaipartai kiri, namun perlu ditekankan bahwa ia tidak pernah menjadi anggota partai komunis.
Pada tahun 1966 ia mengambil bagian dalam International Tribunal againts war crimes in Vietnam  yang telah didirikan oleh filsuf inggris tersohor, Lord Bertrand Russell. Ketika “revolusi mahasiswa” pecah di Paris pada bulan Mei 1968, Sartre mengikuti peristiwa-peristiwa yang berlangsung dengan perhatian besar dan turut mengecam tindakan-tindakan polisi Prancis yang dinilai terlalu kejam. Pada tanggal 20 Mei 1968 ia datang ke Universitas Sorbonne yang diduduki oleh mahasiswa, guna menyatakan dukunganya dan menghimbau orang muda disana untuk menghancurkan universitas dalam bentuknya yang lama. Beberapa tahun kemudian (1973) ia mengambil inisiatif untuk menrbitkan surat kabar baru. Bersama dengan suatu staf yang terdiri dari orang-orang berhaluan kiri, ia mulai menerbitkan harian yang akan memperjuangkan kaum buruh. Banyak artikel yang ditulis Sartre tentang politik, kesusastraan, dan pokok-pokok yang lain, telah dikumpulkan dalam seri buku yang berjudul Situations (Situasi-Situasi). Selruh seri meliputi sepuluh jilid (1947-1975).
Ketika ia mencapai umur 70 tahun (1975), kejadian itu diperingati oleh banyak majalah dan media lainya. Suatu wawancara panjang dengan Sartre disajikan oleh majalah Le nouvel observateur. Ia mengakui bahwa sejak 2 tahun ia mengidap berbagai penyakit yang tak memungkinkan baginya untuk menulis lagi. Ia meninggal 5 tahun kemudian setelah perayaan ulang tahunya yang ke-70, yaitu pada tanggal 15 april 1980, setelah sebulan dirawat di rumah sakit.
 
PEMIKIRAN TOKOH

Sartre adalah seorang filosof ateis. Hal itu dinyatakannya secara terang-terangan. Konsekuensi pandangan ateis itu ialah tuhan tidak ada, atau sekurang-kurangnya manusia bukanlah ciptaan Tuhan. Oleh karena itu, konsepnya tentang manusia ialah manusia bukan ciptaan Tuhan. Bagi Sartre, eksistensi manusia mendahului esensinya. Pandangan ini amat janggal sebab biasanya sesuatu harus ada esensinya lebih dulu sebelum keberadaanya.
Filsafat eksistensialisme membicarakan cara berada di dunia ini, terutama cara berada manusia. Dengan perkataan lain, filsafat ini menempatkan cara wujud-wujud manusia sebagai tema sentral pembahasanya. Cara itu hanya khusus ada pada manusia karena hanya manusialah yang bereksistensi. Binatang, tetumbuhan, bebatuan memang ada, tetapi merea tidak dapat bereksistensi (Drijarkara, 1966:57). Filsafat eksistensialisme mendamparkanya ke dunianya dan menghadapkan manusia pada dirinya sendiri (Hassan:9).
Menurut ajaran eksistensialisme, eksistensi manusia mendahului esensinya. Hal ini berbeda dengan tetumbuhan, hewan dan bebatuan yang eksensinya mendahului eksistensinya, seandainya mereka mempunyai eksistensi. Di dalam filsafat idealisme, wujud nyata (existence) dianggap mengikuti hakikat (essence)-nya. Jadi hakikat manusia mempunyai ciri khas tertentu, dan ciri itu yang membuat manusia berbeda dari makhluk lain (Hanafi, 1981:90). Manusia harus menciptakan eksistensinya sendiri (Beerling:215). Oleh karena itu, dikatakan bahwa manusia itu eksistensinya mendahului esensinya (Struhl & Struhl, 1972:33,35).
Bila kita berfikir bahwa Tuhan adalah pencipta manusia, maka kita akan membayangkan bahwa Tuhan mengetahui secara persis apa yang akan diciptakan-Nya. Jadi konsep sesuatu yang akan disiptakan oleh Tuhan telah ada sebelum segala sesuatu itu diciptakan. Jika demikian, maka bagi manusiapun berlaku formula esensi mendahului eksistensi. Ini bila Tuhan yang menciptakan manusia. Ide seperti ini ada pada agama, juga ada pada Diderot, Voltaire, Kant, dan lain-lain. Bahkan pada Plato, konsep (idea pada plato) sudah ada di alam idea. Sedangkan Sartre menyatakan bahwa itu semua berlawanan dengan kenyataan.
Eksistensialisme yang ateis, yang saya adalah salah seorang tokohnya, menyatakan bahwa Tuhan tidak ada, maka tinggal satu yang ada yang eksistensinya mendahului esensinya, suatu ada yang adanya sebelum ia dapat dikenal dengan suatu konsep tentang dirinya. Itu adalah manusia, yang oleh Heidegger disebut realitas manusia. Apa yang kita maksud eksistensi mendahului esensi pada manusia? Kita maksudkan bahwa manusia adalah yang pertama dari semua yang ada, menghadapi dirinya, menghadapi dunia, dan mengenal dirinya sesudah itu. Bila manusia seorang eksistensialis melihat dirinya sebagai yang tidak dikenal, itu karena ia mulai dari ketiadaan. Dia tetap tidak akan ada, sampai suatu ketika ia akan ada seperti yang diperbuatnya kepada dirinya. Oleh karena itu, tidaklah ada kekhususan kemanusiaan karena tidak ada Tuhan yang mempunyai konsep tentang manusia (Struhl Den Struhl:37).
Formula ini dianggap penting oleh Sartre karena bila eksistensi manusia mendahului esensinya, berarti manusia harus bertanggung jawab untuk apa ia ada. Sartre menjelaskan, karena manusia mula-mula sadar bahwa ia ada, itu berarti manusia menyadari bahwa ia menghadapi masa depan dan ia sadar ia berbuat begitu. Hal ini menekankan suatu tanggung jawab pada manusia. Inilah yang dianggap sebagai ajaran yang pertama dan utama dari filsafat eksistensialisme. Bila manusia itu bertanggung jawab atas dirinya sendiri, itu bukan berarti ia hanya bertanggung jawab atas dirinya sendiri, tetapi juga pada seluruh manusia. Dengan tegas sartre menyatakanya.
Dari hal itu sudah tampak bahwa pendapat Sartre tentang Eksistensi manusia bukan sekedar hendak menjelaskan keadaan keberadanya manusia ditengah manusia dan bukan manusia, lebih dari itu ia hendak menjelaskan tanggung jawab yang seharusnya dipikul oleh manusia. Munculnya masalah ini tidaklah mengherankan bila kita membayangkan keadaan dunia ketika itu, khususnya Eropa Barat tempat Sartre hidup.
Eksistensi manusia menunjukkan kesadaran manusia, terutama pada dirinya sendiri bahwa ia berhadapan dengan dunia. Dari konsep ini muncullah ciri lain hakikat lain tentang keberadaan manusia. Orang eksistensialisme berpendapat bahwa salah satu watak keberadaan manusia ialah takut (Bierman dan Gauld, 1973:602). Takut itu datang dari kesadaran  manusia tentang wujudnya di dunia ini. Sartre menyatakan, bila manusia menyadari dirinya berhadapan dengan sesuatu, menyadari bahwa ia telah memilih untuk berada, pada waktu itu juga ia telah bertanggung jawab untuk memutuskan bagi dirinya dan bagi keseluruhan manusia, dan pada saat itu pula manusia merasa tidak dapat melepaskan diri dari tanggung jawab menyeluruh (Struhl dan Struhl:38).
Manusia itu merdeka, bebas. Oleh karena itu, ia harus bebas menentukan, memutuskan. Dalam menentukan, memutuskan, ia bertindak sendirian tanpa orang lain menolong atau bersamanya. Ia harus menentukan untuk dirinya dan untuk seluruh manusia. Oleh karena itu, menurut Sartre, demikian juga heidegger (Beerling;223-24), manusia tidak solider tetapi soliter. Ia memikul berat dunia seorang diri. Kenyataan manusia, sebagaimana dinyatakan oleh Sartre, adalah nasibnya diserahkan kepada dirinya sendiri dengan tiada bantuan sedikitpun (Beerling:232). Sartre mengatakan bahwa dalam memutuskan itu orang berdiri sendiri. Ini karena ia ateis. Bila teis, maka manusia akan tahu bahwa dalam memutuskan ia tidak sendirian, ajaran Tuhan bersamanya dalam memutuskan. Rasa takut itu muncul karena ada kesadaran dalam diri manusia. Rasa seperti ini  tidak ada dalam tumbuhan, hewan maupun bebatuan. Bagi Sartre, karena manusia itu pengada yang sadar, persoalanya menjadi rumit. Pertama ia sadar, dari sini muncul tanggung jawab, manusia akan menentukan. Dari sini muncul kesendirian, lalu rasa takut muncul. Kemudian Sartre menambahkan lagi: dari kesadaran itu muncul penyangkalan. Manusia itu selalu menyangkal.
Sadar berarti sadar akan sesuatu, yaitu sadar akan sesuatu yang terletak diluar kesadaran itu. Ini berarti ia berhubungan dengan sesuatu yang ada diluar dirinya, sesuatu yang bukan dirinya. Sampai disini belum ada kejanggalan. Akan tetapi, Sartre  kemudian menambahkan: sadar tentang sesuatu berarti menyangkal sesuatu (Drijarkara:80). Untuk ini Sartre menggunakan istilah neantiser. Dengan kesadaran itu manusia menyadari bahwa ia tidak berdiri sendiri. Dalam kenyataanya manusia itu termuat dalam kompleks perbuatan. Tentang berbuat itu manusia sadar ia berbuat. Itu berarti manusia menyadari bahwa ia selalu dalam peralihan. Disinilah terletak kerumitan manusia itu; demikian Sartre. Manusia itu, setelah menyadari dirinya, ia membantahnya, menyangkalnya. Ia membantah itu dengan mengalih, menuju kepada yang lain. Manusia selalu dalam keadaan menuju yang lain. Setelah yang lain itu tercapai, pada waktu itu pula ia menyangkalnya. Jadi, manusia itu selalu berubah, selalu meluncur, selalu menuju kepada. Hakikat penyangkalan itu dapat dirumuskan dalam kalimat ini: yang ada tidak dimaui, yang dimaui belum ada. Jadi, manusia itu laksana orang yang mengejar bayanganya. Menurut Sartre, itulah hakikat manusia.
Disini tergambarlah suatu filsafat putus asa. Untuk apa mengejar sesuatu padahal sudah diketahui bahwa jika sesuatu itu dicapai, ia  akan mengingkarinya.? Jadi, semua usaha telah diketahui akan berakhir sia-sia, tapi manusia harus berbuat. Menurut Sartre, itulah hukuman bagi manusia, manusia harus demikian. Ia dihukum oleh kesadaranya. Ia harus meluncur terus sampai ia terengah-engah kepayahan. Untuk membebaskan diri dari hukuman itu hanya ada dua kemungkinan: menjadi yang tak berkesadaran ( en-soi,hewan, tetumbuhan, batu) atau bunuh diri. Menjadi en-soi tidak mungkin, yang mungkin adalah bunuh diri.
Pikiran ini suatu mata rantai dalam rangkaian pemikiran Sartre tentang hakikat wujud manusia. Sangat erat dengan formula “yang ada tidak dimaui dan yang dimaui ialah yang belum ada”. Tindakan atau bertindak adalah bagian sentral dalam filsafat Sartre. Manusia itu menjalani eksistensinya dalam perbuatan. Perbuatan itu tindakan. Syarat utama dapat bertindak ialah adanya suatu kemerdekaan. Oleh karena itu, tidaklah aneh bila Sartre menghantam setiap bentuk detirminisme. Sartre mengatakan bahwa ke-apa-an manusia bergantung pada kemauanya yang berasal dari kemerdekaanya (Drijarkara;84). Selanjutnya Sartre menjelaskan bahwa kemerdekaan itu harus diartikan merdeka dalam keterbatasanya artinya ia merdeka dalam kondisinya. Sebagian buku Sartre  berisi uraian yang tajam dan sinis tentang hubungan antar manusia: relasi antara kesadaran yang satu dengan kesadaran yang lain. Apa yang terjadi antara manusia dengan manusia.

Senin, 01 Juni 2015

Bapak Sosiologi : Auguste Comte



Biografi

        Auguste Comte, lahir di Montpellier, Perancis, 17 Januari 1798 dan meninggal di Paris, Perancis, 5  September 1857 pada umur 59 tahun. Dari keluarga katholik. Merupakan seorang filsuf Perancis yang dikenal karena memperkenalkan bidang ilmu sosiologi serta aliran positivisme. Comte membangun dasar yang digunakan oleh akademisi saat ini yaitu pengaplikasian metode ilmiah dalam ilmu sosial sebagai sarana dalam memperoleh kebenaran. Dan karyanya yang pokok salah satunya dalam buku course de philosophie positive. Dalam buku ini comte menjelaskan tentang hukum kemajuan manusia dan hukum tiga jenajang. Dia sangat giat dalam hubungan sosial dan problema problema di masa itu dan Pemikiran auguste comte sendiri sangat terpengaruh oleh pemikiran saint simon.

Hukum Tiga Jenjang Comte

Pada buku course de Philoshopie comte menjlaskan tentang hukum tiga jenjang yaitu jenjang teologi, jenjang metafisika dan jenjang positiv. Dan bagi comte perkembangan tiga jenjang ini merpakan hukum tetap. Oke mari kita bahas satu satu dari ketiga jenjang tersebut, kalo belum jelas nanti kita diskusikan dan tanya dosen kita pak mulyo wiharto.

o   Jenjang Teologis, pada jenjang ini manusia mencoba menjelaskan gejala disekitarnya dengan mengacu pada hal yang bersofat adikodrati. Pada jenjang ini manusia percaya bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam ini karena ada kuasa yang telah mengatur ini semua. Tentu pemikiran comte ini 180 derajat berbeda dengan pemikiran nietzsche yang telah kita bahas pada pertemuan minggu kemarin. Karena comte menjelaskan pada masa ini terdapat hal yang memiliki tingkatan yang lebih tinggi yang mengatur ini semua. Sehingga pada tahap teologis pun memiliki tiga tahapan. Yakni ada dimana semua manusia percaya bahwa setiap benda adalah berjiwa sehingga menimbulkan ajaran animisme. Kemudian timbul lagi kepercayaan bahwa etiap kelompok menguasai kawasan tertentu sehingga pada masa ini manusia percaya akan dewa dewa dan ini disebut sebagai ajaran poiteisme, dan yang terakhir pada jenjang teologi ini adalah ketika dewa diganti oleh satu tokoh yang lebih tinggi dari lainnya sehingga ini menjadikan sebuah ajaran yaitu monoteisme.

o   Jenjang Kedua Adalah Jenjang Metafisis, pada jenjang ini manusia mengacu pada kekuatan metafisis dan abstrak pada jenjang ini kuasa adikodrati diganti oleh konsep dan prinsip yang abstrak.

o   Jenjang Ketiga Adalah Tentang Positivisme, pada masa ini penjelasan tentang gejala alam mapu sosial mengacu pada deskripsi ilmiah dan dijelaskan berdasar pada hukum ilmiah. Yaitu yang mampu memberikan fakta dan mampu disajikan kepada setiap orang dengan menggunakan akal dan pengamatannya.


Nah, dari hukum tiga jenjang yang ketiga dikemukakan oleh auguste comte inilah yang melatar belakangi lahirnya metode positif, maka comte pun dianggap sebagai perintis positivisme. Dan hukum tiga jenjang ini merupakan sumbangan penting comte terhadap ilmu sosiologi dan merupakan sebuah pemikiran ilsafat yang mendorng perkembangan ilmu ini, sehingga dari hal inilah kenapa comte disebut sebagai bapak sosiologi atau the godfather sosiologi.